Membahas isu-isu SARA memang sepertinya tidak akan pernah ada habisnya.  Seperti yang kita ketahui, terjadinya krisis kemanusiaan di negara bagian Rakhine, Myanmar, yang menyebabkan sekitar 87.000 umat Muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari kekerasan. Ini sontak membuat dunia Internasional kaget dengan apa yang terjadi di Negara yang dipimpin oleh San Suu Kyi, dimana umat Muslim di Rohingya dibunuh dan desa mereka habis dibakar. Rohingya yang merupakan pemeluk agama Muslim merupakan minoritas di Myanmar, yang mana hampir seluruh penduduk Rakhine beragama Buddha sehingga terjadi diskrimansi terhadap umat Muslim karena kehadiran Rohingya yang dianggap sebagai pendatang dan tidak mendapat status kewarganegaraan di Myanmar. San Suu Kyi sendiri diketahui sebagai wanita penerima Nobel Perdamaian pada tahun 1997, namun dia hanya berdiam diri dan tidak mengatasi krisis kemanusiaan yang terjadi di Rakhine.

Hal serupa juga kerap kali terjadi di Indonesia. Telah banyak kasus yang terjadi menyangkut isu SARA di Indonesia. SARA sendiri merupakan singkatan dari Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan. Perbedaan pandangan mengenai suku, agama, ras dan golongan inilah yang kerap kali memecah persatuan dan kesatuan Indonesia.

Kasus SARA yang mungkin akan selalu dikenang bagi masyarakat Indonesia adalah kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998, dimana terjadi perang antar etnis yang memicu penjarahan dan krisis moneter yang berkepanjangan. Kerusuhan ini sebenarnya diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti dimana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Dilansir dari okezone.com, peristiwa penembakan tersebut ternyata berbuntut panjang dan menyulut emosi warga, hingga keesokan harinya Jakarta menjadi lautan aksi massa dan terjadi demo di beberapa titik. Penjarahan dan pembakaran pun tak dapat lagi dihindarkan.

Saat itu Indonesia dilanda krisis ekonomi parah sehingga melumpuhkan seluruh persendian ekonomi dalam negeri. Kerusuhan yang terjadi malah menular pada konflik antar etnis pribumi dan etnis Tionghoa. Saat itu, banyak aset milik etnis Tionghoa dijarah dan juga dibakar oleh massa yang kalap. Massa pribumi juga melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para wanita dari etnis Tionghoa kala itu.  Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Peristiwa ini menjadi sebuah lembaran hitam bagi sejarah Indonesia dan trauma yang mendalam bagi etnis Tionghoa di Indonesia.

Tidak lama setelah tragedi 1998, dua tahun kemudian muncul tragedi sampit. Tragedi ini merupakan konflik berdarah antara suku Dayak dan Madura yang dipicu oleh banyak faktor. Diantaranya karena kasus orang Dayak yang diduga tewas karena dibunuh oleh orang Madura, hingga kasus pemerkosaan gadis Dayak. Orang Dayak selaku tuan rumah menganggap warga Madura gagal untuk beradaptasi sebagai pendatang, sehingga memicu pertengkaran antar dua suku. Akibat bentrok dua suku ini ratusan orang dikabarkan meninggal dunia. Bahkan banyak diantara warga Madura yang dipenggal kepalanya oleh suku Dayak karena kesal dengan ulah orang Madura, sekaligus untuk mempertahankan wilayah mereka yang mulai dikuasai oleh orang Madura saat itu.

Perbedaan suku, ras, agama dan golongan sebenarnya bukanlah masalah bagi masyarakat Indonesia, sejauh masyarakat tidak menyinggung SARA dan melakukan perbuatan diskriminasi. Kita boleh membicarakan mengenai agama Islam, Hindu, Katolik, Buddha, Kristen dan Kong Hu Chu atau membicarakan etnis Jawa, Tionghua, Madura, dan lain sebagainya. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, selama kita tidak membicarakan hal tersebut dengan tujuan untuk menghina, merendahkan, atau mem-bully yang lainnya.

Ketika kita berkuliah, wawasan dan lingkungan pergaulan kita semakin luas. Jika dulu saat SMA kita hanya bertemu dengan orang yang satu etnis dengan kita, ketika memasuki bangku perkuliahan, semua akan berbeda. Bertemu dengan orang dari berbagai etnis, suku bangsa, budaya bahkan bahasa yang berbeda, merupakan hal yang biasa. Misalnya, jika dulu saat SMA teman-teman kita berasal dari Jakarta dan beretnis Tionghoa, ketika berkuliah banyak teman kita yang berasal dari Medan, Bangka, Palu, Surabaya dan masih banyak daerah lain di Indonesia. Ada juga teman kita yang memeluk agama Islam, Kristen, Buddha, Katolik, Kong Hu Chu. Bahkan, ada juga yang tidak memegang kepercayaan apapun atau atheis.

Melihat begitu banyak perbedaan di kalangan mahasiswa, kita sebagai generasi penerus bangsa seharusnya belajar untuk menghargai setiap perbedaan yang ada. Beda agama, beda ras, beda suku bukanlah penghalang bagi kita untuk saling mecela dan melakukan diskriminasi satu sama lain. Sebagai mahasiswa kita harus menciptakan semangat bertoleransi, Toleransi yang berarti kita dapat menghormati dan menghargai setiap kegiatan yang dilakukan masyarakat, khsusunya kehidupan antar umat beragama. Hal sederhana yang dapat kita lakukan yakni menghargai umat Muslim ketika ingin melakukan sholat Jumat dengan tidak menyetel musik keras-keras atau menghargai tradisi umat Hindhu ketika hendak merayakan tradisi Nyepi dengan tidak melakukan aktifitas apapun, dan upacara-upacara keagamaan agama lainnya

Kita sebagai kaum intelektual harus senantiasa berhati-hati dalam bersikap dan meningkatkan tali silaturrahmi baik antar sesama suku, agama, ras, golongan, maupun yang berbeda agama, ras, suku maupun golongannya. Alangkah baiknya jika kita bisa mencontoh masyarakat di Dukuh Kalipuru, Kendal, Jawa Tengah dimana empat rumah ibadah dibangun secara berdampingan. Menurut Marsudi selaku Kepala Desa, agama di Kalipuru tidak pernah dipermasalahkan. Semua agama hidup rukun disini dan sesuai dengan Pancasila. Dia menyatakan bukan kebijakannya sebagai Kades yang membuat toleransi itu menguat, melainkan sikap saling menghormati di antara warga memang sudah ada turun-temurun. Di  kalangan anak kecil, orangtua juga mendidik anak mereka untuk menjaga sikap toleran antar umat beragama “Mereka sudah faham dengan lingkungan yang ada. Ketika ikut ke gereja atau ke pura atau ada acara agama, mereka datang dan makan seperti biasanya. Tidak ada kekhawatiran bahwa makanan berasal dari barang yang haram atau tidak baik. Kunci beragama di Kalipuru menurut saya adalah mengajarkan warha untuk tidak fanatik pada agama” ujar Marsudi.

Mahasiswa saat ini harus bersikap cerdas dan bijaksana dalam menghadapi kasus SARA yang seringkali terjadi di Indonesia. Kita tidak boleh langsung percaya dengan isu-isu yang sering diberitakan karena isu tersebut belum tentu benar. Kita juga tidak boleh langsung terpancing denga konflik-konflik yang ada. Sebagai orang yang berpendidikan kita harus bersikap bijaksana dan menelaah setiap informasi yang ada. Selaku mahasiswa kita juga harus bersikap toleransi baik itu dengan ras, agama, suku atau golongan yang sama maupun yang berbeda. Kita tidak boleh fanatik dan menyukai sesuatu secara berlebihan, apalagi sampai ke tahap etnosentrisme dimana kita mulai membandingkan budaya, agama, ras kita dengan yang lain dan menganggap budaya, agama, dan ras kita lebih baik dari mereka. Kita harus mengingat bahwa negara kita adalah negara yang menganut paham pluralisme yakni keberagaman. SARA bukanlah masalah bagi kita, selama kita memegang teguh prinsip “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda namun tetap satu juga. (VN)

Referensi

https://www.kompasiana.com/shalahuddin.ahmad/menyebut-sara-bersikap-sara menyinggung-sara_552fa4196ea83460088b458d

https://news.okezone.com/read/2016/02/25/340/1320731/lima-konflik-sara-paling-mengerikan-ini-pernah-terjadi-di-indonesia?page=2

http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/1876-konflik-sara-penyebab–disintegrasi-bangsa.html

http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/06/inilah-contoh-kecil-pluralitas-indonesia-di-pelosok-kendal

 

by: Vivi Noviyanti