Bagi para pengguna sosial media, pasti tidak asing lagi dengan Raditya Dika, William Wongso, Trinity atau Chacha Thaib.  Mereka adalah para selebtwit, buzzer atau istilah kerennya digital influencer.

Istilah digital influencer merebak dengan semakin memasyarakatnya penggunaan internet terutama sosial media. Digital influence adalah kemampuan untuk mempengaruhi, merubah opini dan perilaku secara online, umumnya melalui social networking.  Secara sederhana, digital influencer adalah mereka yang memiliki pengaruh yang besar di social media.

Brand dari berbagai produk kini memanfaatkan para digital influencer sebagai bagian dari strategi pemasaran. Para digital influencer dipercaya mampu memberikan tidak hanya informasi/awareness namun juga kredibilitas dibanding advertising biasa. Ini disebabkan karena mereka memiliki ‘basis massa’ yang lebih mampu menciptakan ‘engagement’. Jumlah follower yang ‘like’, ‘retweet’  atau meninggalkan komen dapat mudah diketahui. Sehingga efektivitas menggunakan digital influencer dalam pemasaran juga dapat lebih mudah terukur.

Para digital influencer ini biasanya dihargai per satu kali posting dengan ‘rate’  antara lain tergantung jumlah massa/follower mereka di sosial media. Namun jumlah saja tidak cukup dijadikan ukuran besarnya ‘influence’, apalagi sekarang follower bisa dibeli. Aspek yang dilihat dari seorang digital influencer adalah Reach, Resonance dan Relevance (Solis 2012)..  Sederhananya, dari sekian banyak follower para digital influencer dimaksud, berapa banyak yang melakukan ‘engagement’ dengan postingan mereka melalui ‘like’, ‘’share’, retweet’, comment, klik terhadap link atau URL dari iklan, atau lebih jauh melakukan tindakan seperti misalnya mengisi form/pembelian. Engagement ini bisa terjadi jika para digital influencer dimaksud konsisten membangun komunikasi dengan followernya dan memiliki citra/reputasi yang cocok dengan produk yang ditawarkan. (Fitrie Handayani – D5384)

Anda tertarik menjadi seorang digital influencer?