Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut:

Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behavior and enterprise.

Semiotika merupakan sebuah model ilmu pengetahuan sosial dalam memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut “tanda”.

Semiotika berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial.

Semiotika memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan di antara keduanya tidak saling mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat.

Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology). Semiologi menurut Saussure seperti didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics).

 

Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda.

Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Pada perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.

Pada analisis semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal tersembunyi di balik sebuah tanda (teks,iklan,berita). Karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada.

Misalnya, kita dapat menanyakan:

”mengapa iklan produk mobil menampilkan model perempuan yang duduk di atas mobil?”

” apa makna sosial sebuah lirik lagu?”

” mengapa berita menggunakan frase atau kalimat tertentu menggambarkan kelompok tertentu?” dsb nya

 

*Apa yang di maksud dengan TANDA?”

Yang dimaksud ”tanda” ini sangat luas. Pierce membedakan tanda atas: lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index). Dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Lambang: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. Lambang ini adalah tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari para pengguna tanda.

Contoh: Warna merah bagi masyarakat Indonesia adalah lambang berani, mungkin di Amerika bukan.

  1. Ikon: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan berupa kemiripan. Jadi, ikon adalah bentuk tanda yang dalam berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda tersebut.

Contoh: Patung Kuda adalah ikon seokor kuda

  1. Indeks: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya timbul

karena ada kedekatan eksistensi. Jadi, indeks adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan langsung (kausalitas) dengan objeknya.

Contoh: Asap merupakan indeks dari adanya api.

Dalam konteks ”pembacaan” iklan televisi, mempertalikan iklan dan semiotika nampaknya dapat menjadi satu diskusi yang menarik. Sebagian tayangan iklan seringkali bukan menawarkan produk semata, tetapi juga melekatkan sistem keyakinan dan nilai tertentu. Budaya punya harga di sini.

Bagi produsen, iklan bukan hanya menjadi alat promosi barang maupun jasa, melainkan juga untuk menanamkan citra kepada konsumen maupun calon konsumen tentang produk yang ditawarkan.

Citra yang dibentuk oleh iklan seringkali menggiring khalayak untuk percaya pada produk, sehingga mendorong calon konsumen untuk mengkonsumsi maupun mempertahankan loyalitas konsumen. BMW, di identitikan dengan para elaku bisnis yang sukses di usia muda, sementara Mercedez Benz, mencitrakan dirinya sebagai pilihan bagi profesional yang berkelas, yang sukses membangun bisnisnya selama beberapa dekade.

Iklan yang pada dasarnya sekadar kegiatan promosional atas produk menjadi kegiatan pemasaran seperangkat nilai dan keyakinan.

Iklan televisi menjadi satu bagian kebudayaan populer yang memproduksi dan merepresentasikan nilai, keyakinan, dan bahkan ideologi. Menariknya, iklan televisi kemudian tidak luput dari perannya sebagai arena komodifikasi, dimana pesan iklan bukan lagi sekadar menawarkan barang dan jasa, melainkan juga menjadi semacam alat untuk menanamkan makna simbolik.

Terdapat banyak nilai yang dikomodifikasikan televisi melalui tayangan iklan. Nilai tentang tubuh ideal misalnya, kerap dijumpai dalam iklan kosmetik, makanan dan minuman suplemen, alat kesehatan dan sebagainya.

Sebagai bagian dari budaya populer, iklan telah menjadi perangkat ampuh untuk mempopulerkan standar baru tentang nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Iklan merepresentasikan citra ideal tentang tubuh laki-laki dan perempuan sehingga secara tak langsung televisi sebagai penyiar iklan menjadi pihak yang bertanggung jawab atas mediasi budaya pemujaan tubuh (fetishism of body).

Dalam konteks ini pula kecenderungan merebaknya pencitraan tubuh ideal yang relatif seragam atas laki-laki atau perempuan telah mengubah tubuh ideal itu sendiri menjadi mitos.

Media (iklan televisi) membangun sebuah imaji ideal, yang tidak senantiasa sama dengan mitos terdahulu.

Iklan-iklan yang ada di media televisi saat ini telah menjelma tak sekedar menawarkan produk kapitalis agar diketahui kegunaan dan manfaatnya oleh konsumen, akan tetapi juga menawarkan segala  ideologi budaya yang diekspor oleh budaya asing.

Budaya tersebut bersumber pada ideologi kapitalisme; serba cepat, instan, dan libidoseksual, sehingga apapun jenis iklannya, ia berkencederungan pada kedua jenis kesenangan tersebut, yang tentunya sebagai barang baru bagi budaya iklan kita. Tetapi karena gencarnya kampanye yang dimediasi iklan, hal tersebut seolah menjadi bagian dari kehidupan keseharian.

Bila hal ini menggejala, budaya luhur kita yang selalu mengagungkan watak sederhana, menghindari sensualitas, menghargai proses dengan sabar, dan sopan santun ketimuran, akan tergusur oleh budaya baru yang menawarkan sensualitas dan serba instan yang tidak mengenal proses. Maka kristislah dalam memahami makna semiotika di dalam sebuah iklan. (ods/d5525/2015)