medi1Aku (kiri-depan) bersama teman-teman di ISTC, Lille, Prancis

Pertama kali tiba di Paris, cuaca pada saat itu masih sangat dingin. Karena pada dasarnya merupakan puncak musim dingin, atau dalam bahasa Inggris disebut winter,pada bulan Desember sampai Februari di Eropa. Suhu terendah yang saya rasakan selama hidup di Prancis adalah -3 derajat Celcius. Sungguh sangat berbeda dengan suhu di Jakarta yang biasanya berkisar antara 28-33 derajat Celcius. Untungnya, saya membawa banyak baju tebal dan beberapa coat yang sangat berguna untuk melawan rasa dingin disana. Tubuh saya yang biasa dengan keadaan cuaca di Jakarta yang sangat lembab dan panas, dapat beradaptasi dengan baik disana karena menggunakan baju tebal berlapis-lapis yang luarnya kemudian dilapisi lagi oleh coat. Namun anehnya, tidak ada salju yang turun di Prancis dengan keadaan suhu yang sangat dingin seperti itu. Walaupun sempat turun salju ringan sebentar pada beberapa hari, tetapi tidak menimbulkan tumpukan salju yang tebal seperti di negara Eropa lainnya. Perbandingan suhu antara Jakarta dan Prancis dapat dikatakan lumayan ekstrim sehingga butuh waktu beberapa hari untuk dapat terbiasa dengan cuaca yang sangat dingin seperti itu.Bayangkan, pertama kali masuk orientasi, diinformasikan oleh pihak kampus ISTC untuk datang pukul 9 pagi. Namun, setelah keluar apartemen jam 8, keadaan di luar masih sangat gelap dan belum ada tanda-tanda matahari terbit. Berbeda dengan di Jakarta yang mataharinya selalu terbit pada pukul 6 pagi. Waktu pelaksanaan solat subuh pun menjadi lebih lama, yaitu pukul 7. Padahal di Jakarta pukul 5 pagi saja adzan subuh sudah berkumandang. Dan sorenya pun matahari terbenam pukul 5 sore, sehingga waktu siang lebih sedikit dibandingkandengan waktu malam. Hal ini disebabkan karena masih berada pada musim dingin.

Hari orientasi merupakan hari pertama saya mengunjungi kampus ISTC. Semua warga ISTC sangatlah ramah, bahkan walau tidak kenal pun mereka selalu memberikan senyuman serta menyapa dengan kata “bonjour.”  Selain itu, mereka juga punya tradisi untuk mencium pipi kiri lalu pipi kanan ketika bertemu dengan orang yang dikenal dimanapun itu tempatnya. Mahasiswa-mahasiswi lokal di ISTC pun sangatlah ramah kepada saya dan mahasiswa internasional lainnya. Walaupun mereka tidak terlalu kenal, bahkan nama saja tidak tahu, mereka tetap selalu senyum, menyapa dan melakukan tradisi cium pipi dua kali setiap berpapasan di kampus. Kebudayaan seperti ini sangatlah berbeda dengan yang Indonesia anut. Di Indonesia, apabila kita tidak terlalu kenal, maka belum tentu orang itu akan menyapa ataupun senyum kepada kita.

medi3hang-out tidak harus minum minuman keras

Pada awalnya, sulit bagi saya untuk berbaur dan mencari teman dengan mahasiswa lokal sana. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan gaya hidup. Warga Prancis, terutama para mahasiswanya mempunyai pergaulan yang sangat bebas. Saya berpikir, untuk memiliki teman, kita harus bisa bergaul mengikuti gaya mereka. Mereka memiliki kebiasaan hang out pada malam hari di bar untuk minum minuman yang menghangatkan tubuh sekaligus memabukkan. Apalagi, negara Prancis terkenal akan wine nya. Untuk bisa bergaul dengan mereka, saya harus bisa beradaptasi dengan cara mereka. Namun, saya sebagai seorang muslim tidak seharusnya melanggar perintah ajaran Islam untuk meminum alkoholatau sebangsanya, apalagi masuk ke tempat-tempat hiburan malam seperti itu. Pada akhirnya pun mereka sadar. mengerti dan toleran dengan keadaan saya. Untuk bisa beradaptasi dengan mereka, ternyata tidak perlu mengikuti gaya hidup yang mereka anut, yang penting adalah dapat memiliki pemikiran dan pemahaman yang sama, serta mengerti keadaan satu sama lain. Awalnya hal ini agak sedikit mengganggu saya selama menjalani pergaulan di sana, karena kebudayaan yang dianut sangatlah bebas tidak seperti di Indonesia. Di Indonesia, banyak sekali umat beragama Islam yang tidak menyulitkan saya untuk mencari teman yang memiliki keadaan yang sama. Lain halnya dengan di Prancis yang membuat saya sedikit tidak percaya diri karena umat muslim disana merupakan umat minoritas. Namun, hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena hanya butuh sedikit pemahaman untuk mengerti keadaan satu sama lain antara kedua belah pihak yang latar belakang budayanya berbeda (Siti Meidina, mahasiswa pertukaran pelajar Marcomm Binus-ISTC, Lille, Prancis)

medi2

Aku (kiri-depan) termasuk dalam foto promosi ISTC