Polemik RUU Pemilukada:

Ujian Terakhir SBY

Oleh Romanus Ndau Lendong

Akademisi Universitas Bina Nusantara Jakarta

Ilmuwan politik dari Georgia, Ghia Nodia (2003) mengatakan bahwa jantungnya demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Pemerintahan demokratis, katanya, hanya legitimate jika dipilih dan dikukuhkan oleh kehendak rakyat.

Jika demikian, semangat dan arah dasar reformasi politik di Indonesia sudah tepat, yakni mewujudkan demokrasi. Mekanisme pemilihan kepala daerah (Pemilukada) secara langsung mengembalikan daulat rakyat sebagai rahim kepemimpinan. Joko Widodo, Basuki Tjahaya Purnama, Tri Rismarini, Ridwan Kamil, dan Rustriningsih adalah beberapa contoh pemimpin berintegritas yang lahir dari rahim rakyat karena dipilih secara langsung.

Hasrat Mendominasi

Atas dasar itu, sikap sebagian besar fraksi di DPR yang ingin mengembalikan Pemilukada oleh DPRD perlu dikritisi. Gagasan tersebut bukan saja berpotensi untuk membonsai kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla tetapi juga mengamputasi daulat rakyat.

Betul bahwa pemilihan langsung di beberapa daerah dirasakan mahal dan  memicu konflik sosial. Tapi hal tersebut masih dalam batas-batas wajar sehingga tidak perlu dibesar-besarkan.  Apalagi konflik politik selama ini lebih dipicu oleh rendahnya kapasitas dan integritas elite untuk meraih kekuasaan secara efisien dan terhormat. Jadi, yang mesti dibenahi adalah mentalitas elite, bukan melenyapkan hak rakyat atas demokrasi.

Secara historis, pemilihan langsung berakar pada lemahnya wakil rakyat di pusat dan daerah untuk menggaransi lahirnya kepemimpinan politik yang berkualitas dan berintegritas. Langgengnya kekuasaan Soeharto selama 32 tahun adalah contohnya. Wakil rakyat yang lemah dan oportunis tidak berani berbeda pendapat dengan rezim Orde Baru. Suksesi politik nasional  terhambat dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan sulit diantisipasi.

Soal serupa terjadi di daerah. Kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) menjelma sebagai kekuasaan yang absolut. Hak rakyat untuk berpartisipasi sulit diakomodasi. Alhasil, kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan publik lemah seperti terlihat dari tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Di saat yang sama, kepala daerah harus total memberikan pelayanan kepada elite politik sebagai skenario untuk memuluskan pertanggungjawaban kekuasaannya  sekaligus menggaransi kepemimpinan periode berikutnya.

Kiranya jelas bahwa  rasionalitas Pemilukada oleh DPRD sangat lemah. Sikap anggota DPR yang terkesan bernafsu untuk mengesahkan RUU Pemilukada di tengah meluasnya penolakan justru patut dicurigai. Pertama, Pemilukada oleh DPRD menjadi jalan untuk mengembalikan dominasi elite dalam seluruh proses politik di tingkat daerah. Dasarnya, pemilihan langsung menutup ruang transaksi politik di berbagai level. Elite partai mengeluh karena kepala daerah yang diusungnya tak mampu menyediakan anggaran untuk khas partai. Tradisi elite partai di  daerah memberi setoran ke pusat sulit berjalan. Pemasukan partai merosot tajam sehingga agenda dan kemandiriannya terancam.

Kedua, desakan Pemilukada oleh DPRD merupakan ekspresi dari menguatnya sikap antikritik di kalangan elite politik. Pemilihan langsung menempatkan rakyat pada posisi terdepan untuk menentukan kepemimpinan politik sekaligus mengontrolnya. Buahnya adalah banyak elite partai yang tersisih karena pamornya terus meredup. Kontrol rakyat juga menyebabkan banyak elite partai yang mengakhiri karier politiknya di balik jeruji besi.

Hasrat untuk kembali mendominasi dan mengelak dari kritik rakyat ini mendorong sebagian besar anggota DPR untuk mengembalikan Pemilukada oleh DPRD. Upaya ini harus dicegah karena berpotensi menjadi bola liar yang bisa menyasar berbagai kepentingan politik. Andaikata Pemilukada akhirnya kembali dipilih oleh DPRD, maka pemilihan gubernur dan pemilihan presiden  akan mengalami nasib yang sama.

Ujian Terakhir SBY

Penolakan Pemilukada oleh DPRD terus meluas. Survei LSI 5-7 September 2014 menyatakan bahwa lebih dari 80 persen rakyat menyetujui agar pemilihan langsung harus dilanjutkan. Dukungan tersebut juga berasal dari pemilih Partai Golkar 81,20%, Demokrat 80,77%, Gerindra 82,55%, PKS 80,23% dan PAN 85,11%. Pada titik ini, suara fraksi untuk mengembalikan Pemilukada oleh DPRD tidak memiliki basis legitimasi yang kuat sehingga sudah seharusnya dibatalkan.

Pemilukada oleh DPRD juga berpotensi menyandera para kepala daerah sehingga mereka serentak menolaknya. Penolakan tersebut disuarakan antara lain oleh Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Makasar Mohammad Ramdhan Pomanto dan Bupati Bantaeng Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah.

Polemik RUU Pemilukada oleh DPRD merupakan ujian terakhir bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sulit diingkari bahwa perubahan drastis sikap 6 Fraksi di DPR terhadap RUU Pemilukada merupakan aksi balas dendam terhadap kekalahan mereka dalam Pilpres 2014. Jadi, tidak ada rancangan rasional apalagi visioner di balik upaya mengembalikan Pemilukada oleh DPRD.

Kini publik berharap pada SBY. Pertama, SBY merupakan pemimpin yang lahir dari rahim pemilihan langsung. Andaikata pemilihan presiden 2004 dilakukan oleh DPR, jelas peluang SBY sangat kecil karena tidak didukung oleh kekuatan politik dominan. Jadi, SBY berutang budi pada pemilihan secara langsung sehingga sudah seharusnya terus dipertahankan.

Kedua, revisi RUU Pemilukada diusulkan oleh pemerintah. Berhubung polemik atasnya sudah semakin luas dan berpotensi memicu konflik terbuka, maka SBY memiliki kewenangan untuk mencabut kembali rancangan tersebut dan menunda pembahasannya oleh DPR 2014-2019.

Ketiga, SBY adalah Ketua Umum  Partai Demokrat, pemenang pemilu 2009 dengan dukungan 150 kursi di parlemen. Posisi tersebut tentu sangat strategis sehingga sudah seharusnya dioptimalkan untuk membatalkan rencana Pemilukada oleh DPRD.

Akhirnya, SBY harus mampu bersikap airf dan tegas dengan mendengarkan aspirasi mayoritas rakyat perlunya melanjutkan pemilihan secara langsung. Hanya dengan cara ini SBY dikenang sejarah sebagai sosok yang memiliki komitmen dan senantiasa konsisten dalam mendorong demokrasi. ***