Picture

Merevitalisasi Kesucian Politik

Judul: Spiritualitas Politik, Kesucian Politik Dalam Perspektif Kristiani; Penulis: Dr. Paulinus Yan Olla, MSF; Penerbit: Gramedia, Jakarta; Cetakan I, 2014; Tebal buku: 181+viii;

 ISBN :978-602-03-0268-3

Mewujudkan keadilan merupakan tugas suci politik. Keadilan merupakan syarat dasar bagi terwujudnya kebaikan bersama (bonum commune). Negara yang memerintah tanpa keadilan dan mengabaikan kebaikan bersama adalah gerombolan perampok yang menebarkan ketakutan, penindasan dan penderitaan bagi rakyat.

Praktek politik akhir-akhir ini mengkonfirmasi keadaan di atas. Kesucian politik ternoda oleh praktek anti-demokrasi dan anti-moral berupa manipulasi, intimidasi dan  kekerasan serta mengguritanya fenomena korupsi. Politik seakan tak lagi mampu menghadirkan ketulusan dan kegembiraan akibat berbagai skandal dan kekotoran yang didemontrasikan secara sistematis dan masif oleh para pemburu kekuasaan.

Dr. Paulinus  Yan Olla, penulis buku ini, berpandangan bahwa pembusukan politik saat ini disebabkan oleh absennya spiritualitas sebagai landasan etis kekuasaan. Akibatnya, kehidupan politik berkembang dalam absurditas, kekosongan dan ketidakpastian. Untuk mencegahnya, kita perlu mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dalam bidang politik.

Spiritualitas politik, dalam perspektif Gereja Katolik, merujuk pada pengalaman rohani yakni menyangkut kehadiran Allah yang dialami orang beriman. Ia mencakup makna yang lebih luas dari sekadar perebutan kekuasaan. Politik harus menjadi model untuk mendahulukan yang terbelakang (the last first) dengan memberantas kemiskinan, promosi kebebasan dan membudayakan keadilan. Singkatnya, spiritualitas politik adalah penghayatan nilai-nilai kerohanian dalam bidang sosial dan politik.  (h.15).

Secara historis, tema spiritualitas politik begitu lama diabaikan Gereja Katolik. Ini disebabkan oleh praktek politik yang cenderung menindas Gereja, terutama saat awal kemunculannya di Eropa. Banyak orang menjauhi politik demi menemukan kebahagiaan dan kedamaian. Di samping itu, berkembang juga pemikiran bahwa agama dan politik adalah dua bidang yang terpisah. Agama berurusan dengan nilai-nilai spiritual sementara politik tidak lebih dari soal adminsitrasi dan seni merebut kekuasaan. Akibatnya, wacana spiritualitas politik dicurigai sebagai kedok untuk membenarkan berbagai aktivitas politik yang melawan asas  keadilan dan menistakan kemanusiaan.

Memasuki abad ke-20, persisnya menjelang Konsili Vatikan II tahun 1965, tema spiritualitas menggema di dalam Gereja Katolik. Gereja mengakui bentuk-bentuk kesucian di luar lingkup biara. Semua orang beriman dipanggil menjalani kesucian hidup yang sama, meski perwujudannya berbeda-beda.  Hal ini ditegaskan dalam Gaudium et Spes 1965 yang bermaksud membumikan iman Kristiani  dalam kenyataan hidup sosial-politik sehari-hari. .

Konkretisasi iman adalah kerja. Visi tentang kerja diungkapkan dalam aturan ‘ora et labora’ (berdoa dan bekerja). Kerja tidak hanya dilihat sebagai usaha memenuhi hasrat diri akan ekonomi dan kemewahan duniawi melainkan memiliki motivasi rohani. Kerja merupakan sarana untuk mengaktualisasikan potensi manusia sekaligus mengungkapkan keagungan Allah yang senantiasa menghendaki manusia berbahagia.

Sebagai medium bagi mekarnya kekaryaan manusia, politik harus dilandaskan pada nilai-nilai spiritual kerohanian. Politik tidak boleh dilepaskan dari semangat untuk mengabdi kehidupan bersama dengan memegang teguh nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran. Keteguhan mengakomodasi nilai-nilai tersebut, kata Paus Benediktus XVI, merupakan langkah untuk mengembalikan politik sebagai kekuatan ‘revolusi kasih’. (h.153).

Untuk keperluan tersebut, pendidikan sosial-politik berbasis nilai-nilai spiritual mutlak diperlukan. Pendidikan politik berperan untuk menggali nilai-nilai kebaikan pada manusia yang kelak diaktualisasikan dalam kerja-kerja politik. Spiritualitas mendorong tumbuhnya pemaknaan politik sebagai totalitas pelayanan terhadap manusia secara adil,  tanpa pilih kasih (faceless).

Buku ini terdiri dari empat bab berisi konsep, sejarah, prinsip dan panduan bagaimana menerapkan spiritualitas dalam politik. Meski disorot dari sisi Gereja Katolik, namun substansinya mengandung  nilai-nilai universal tentang pentingnya membangun keadaban politik yang berpedoman pada nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan.

Di tengah merosotnya kredibilitas politik, buku ini menjadi referensi penting untuk membuka dan menyegarkan  wawasan  kita akan  pentingnya spiritualitas dalam bidang politik. Konsistensi kita, terutama para  pelaku politik, untuk menerapkan nilai-nilai spiritual dan moral merupakan langkah penting untuk merevitalisasi kesucian politik. Hanya dengan cara itulah kita berharap bahwa ke depan politik bisa menjadi sumber kegembiraan karena menjamin keadilan dan kebaikan bersama. ***

Romanus Ndau, Akademisi Universitas Bina Nusantara, Jakarta